Bregasnews.com - “ Bagi sebagian masyarakat mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif, tetapi bagi sebagian yang lainnya terutama yang belum pernah belajar ilmu hukum mungkin istilah ini masih terdengar asing. Padahal keadilan restoratif dinilai merupakan salah satu bentuk penegakan hukum menuju peradilan yang humanis. Konsep pendekatannya lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku “, ujar Pemerhati Hukum Dede Farhan Aulawi di Bandung, Jum’at (30/12).
Hal ini ia sampaikan saat menerima kunjungan beberapa tamu di kediamannya yang ingin memintai pendapatnya terkait penerapan konsep keadilan restoratif dalam praktek hukum di Indonesia. Meskipun sifatnya mendadak dan ia baru saja tiba dari kunjungan luar kotanya, namun ia tetap bisa menerima seluruh tamu dengan ramah dan penuh humoris. Pengalamannya yang sering menjadi mediator penyelesaian sengketa para pihak yang bermasalah menjadi landasan praktis dalam menjelaskan penerapan keadilan restoratif ini.
Menurutnya, hukum dalam konsep keadilan restoratif bukan untuk menang atau menghukum orang, tetapi membangun harmoni. Penerapannya di Indonesia sebenarnya sudah lama dan sering terjadi dalam penyelesaian masalah di berbagai daerah sejak zaman dahulu dengan asas kekeluargaan. Sejak terbit surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021, setidaknya ada 1.864 perkara hingga bulan Juli 2022 yang diselesaikan oleh Polri tanpa harus sampai ke meja hijau.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa keadilan restoratif menyediakan pilihan untuk transformasi sosial yang positif, juga menjadi dasar dalam mendorong masyarakat sebagai cara penyelesaian masalah atau konflik secara damai dan berkeadilan. Apalagi keadilan restoratif ini sebenarnya sudah menjadi bagian praktik budaya Indonesia. Namun implementasinya belum ada kesamaan persepsi, baik dari sisi masyarakat maupun aparat penegakan hukum. Apabila tidak ada kesamaan standarisasi keadilan restoratif, maka bisa menimbulkan misspersepsi serta rawan pemanfaatan ‘KESEMPATAN’ bagi oknum tertentu.
Kemudian Dede juga menambahkan bahwa penanganan keadilan restoratif memiliki banyak sisi positif secara teknis maupun anggaran. Dimana dalam prakteknya tidak memerlukan tahapan penyelesaian perkara yang cukup memakan waktu mulai dari penyelidikan, penuntutan hingga pengadilan. Selain itu, keadilan restoratif juga dapat mengatasi over crowded di penjara. Namun demikian penerapannya memerlukan kehati-hatian. Keadilan restoratif perlu diperjelas regulasinya agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial, di mana setiap orang harus dipandang sama di depan hukum. Penanganan keadilan restoratif harus dipastikan tidak melanggar hukum yang berlaku, dengan merujuk pada Integrated Criminal Justice System.
Namun demikian, keadilan restoratif juga memiliki tantangan dalam mendukung proses pembelajaran dan perbaikan aturan agar meminimalisir kesalahan atau penyimpangan. Oleh karenanya dipandang perlu menemukan kesamaan dan keseimbangan pengaturan antar lembaga terkait tujuan, ruang lingkup, dan prosedur untuk mencegah diskriminasi dan penyalahgunaan saat memutuskan keadilan, kepastian hukum beserta manfaatnya.
“ Kita mungkin ingat adagium Summum ius summa injuria, summa lex, summa crux. Hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya. Adagium tersebut mengisyaratkan bahwa keadilan adalah nilai ideal yang dicitakan dari suatu kaidah hukum. Dalam pandangan pidana konvensional, penghukuman kepada setiap orang yang melanggar hukum adalah salah satu bentuk keberhasilan penegakan hukum dengan harapan untuk memberikan efek jera, namun apakah dalam sifat pemidanaan yang retributif tersebut akan memberikan keadilan? Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara retributif dan restoratif adalah tujuannya. Dimana dalam restoratif lebih menitikberatkan pada pemulihan dan bukan pada penghukuman “, sambungnya.
Apabila nantinya konsep dari keadilan restoratif diadopsi secara penuh dan menyeluruh maka tentunya nanti akan muncul tantangan dalam transisi dari sistem pemidanaan konvensional. Setidaknya secara teori dapat dibedah dengan teori penegakan hukum Lawrence M. Friedman yang terdiri dari substance yaitu aspek pengaturan, structure yaitu aparatur penegak hukum, dan culture yaitu perilaku dari masyarakat.
Hal tersebut perlu dilegitimasi dengan adanya KUHP yang benar-benar mengakomodir semangat restoratif yang terdapat dalam bagian gugurnya kewenangan penuntutan di Pasal 132 Ayat (1) g di mana dalam suatu tindak pidana tidak dapat dituntut apabila telah ada penyelesaian di luar proses peradilan, sebab dengan civil law system yang dianut menjadi landasan utama dalam proses penegakan hukum. Kemudian sinergi antar penegak hukum dalam sistem peradilan pidana juga harus kembali didudukkan bersama sebab dalam prosesnya dari segi hulu sampai ke hilir proses pemidanaan pasti akan berkaitan dengan hak asasi dari tersangka, korban, ataupun pihak lain. Terkait dengan pelaksanaannya, MA sudah mengeluarkan panduan melalui SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum, dimana hanya berlaku untuk perkara tertentu yaitu tindak pidana ringan, tindak pidana anak, perkara perempuan berhadapan dengan hukum, dan perkara narkotika.
“ Saat berbicara KEADILAN, tentu bukan perkara yang mudah untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Bernd Ruthers, pernah berkata bahwa hukum yang ditujukan untuk mencapai keadilan itu pada akhirnya adalah hasil perumusan manusia, jadi bisa saja salah sehingga tak mungkin kita mengharapkan keadilan sempurna di dunia ini. Barang siapa bersikeras menghendaki keadilan yang sempurna, dia harus mencarinya di alam yang lain. Ucapan ini pada dasarnya menggaris bawahi suatu IKHTIAR dalam proses mewujudkan keadilan yang sifatnya mudah untuk diucapkan tetapi cukup sulit untuk diwujudkan. Namun tentu jangan lantas menjadi berputus asa, melainkan semakin semangat untuk menjadi pejuang dalam mereformulasi sebuah proses keadilan “, pungkas Dede mengakhiri perbincangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar