Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Hukum)
Bregasnews.com - Selama dunia ini diisi oleh lebih dari satu orang, maka pasti akan terjadi perselisihan. Apalagi jika sudah dihuni oleh milyaran umat manusia seperti saat ini, maka berbagai permasalahan, perselisihan dan persoalan akan timbul. Baik yang sifatnya perdata ataupun pidana. Begitupun manusia sebagai mahluk sosial yang pasti akan membutuhkan interaksi satu dengan yang lainnya, dimana satu sama lain juga biasanya memiliki kepentingan masing – masing, yang terkadang tidak selalu seiring dan sejalan. Oleh karena itu dalam suatu komunitas kemasyarakatan diperlukan adanya suatu aturan hukum yang mengatur agar terciptanya tertib sosial di tengah masyarakat. Jargon Latin mengatakan, “Ubi Cocietas Ibi ius, di Mana ada Masyarakat di Situ ada Hukum “.
Selanjutnya mungkin timbul sebuah pertanyaan yang agak menggelitik, “Apa alasan keberadaan (rasion d’etret) dari hukum ?". Pertanyaan ini nampak sangat sederhana tetapi sangat mendasar sekali. Terlebih ketika sekelompok masyarakat memandang adanya ketidakadilan dalam proses penegakan hukum yang begitu kasat mata, biasanya eksistensi hukum selalu dipertanyakan. Itulah sebabnya ketika masyarakat sudah tidak mempercayai lagi sistem hukum yang berlaku, atau sistem hukum yang ada dianggap tidak adil dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja, maka masyarakat biasanya membuat sistem hukum sendiri di luar sistem hukum yang ada. Contohnya apa yang sering kita dengar dengan istilah “pengadilan jalanan”. Begitupun dengan pergantian pimpinan pemerintahan di banyak negara, seringkali terjadi karena adanya kebuntuan komunikasi politik dan ketidakpercayaan dengan sistem hukum yang ada di negara tersebut.
Kemudian jika kita membahas tentang sistem peradilan pidana misalnya, dimana sistem peradilan pidana ini merupakan suatu sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat. Hal ini juga merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya kejahatan atau tindak pidana di tengah masyarakat.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dikenal ada empat institusi yang berperan yaitu Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Polri bertindak sebagai lembaga penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan yang bertindak sebagai lembaga yang melakukan penuntutan, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang membawahi hakim-hakim di lingkup pengadilan, serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat institusi tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya, dan merupakan rankaian proses yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana.
Di samping keempat institusi tersebut, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengenal adanya peran seorang penasehat hukum. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai dimana letak lembaga Advokat / pengacara dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ?. Peran advokat ada pada setiap tahapan proses dalam sistem peradilan pidana. Di dalam KUHAP, peran seorang penasehat hukum ada sejak proses penyelidikan sampai dengan proses rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan dan Advokat sebagai seorang penasihat hukum berperan untuk memastikan bahwa hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana tidak dilanggar oleh siapapun. “Ius Suum Cuique Tribuerae”, Berikan keadilan bagi semua orang yang berhak ".
Advokat bertindak sebagai penyeimbang terhadap upaya paksa yang diberikan oleh undang-undang kepada penegak hukum serta peran advokat ini menjadi penting. Ketiadaan seorang penasehat hukum dalam proses peradilan pidana memungkinkan terjadinya pelanggaran yang berpengaruh terhadap hasil putusan pengadilan. Advokat sejati akan selalu menjungjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan, dan harus berjuang untuk terciptanya suatu keadilan.
Seorang negarawan Romawi yang juga mertua dari Julius Caesar, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) pernah mengatakan, “fiat justitia ruat caelum”, hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh. Kemudian dilanjutkan dengan, “fiat justitia et pereat mundus”, hendaklah keadilan ditegakkan agar langit tidak runtuh. Semboyan itu hingga saat ini menjadi mantra dan doktrin bagi para hamba wet (aparat penegak hukum) dalam menegakkan supremasi hukum.
Semua elemen catur wangsa penegak hukum yang terdiri dari, polisi, jaksa, hakim serta advokat memiliki spirit yang sama berbekal doktrin dari Lucius. Disinilah advokat memiliki fungsi dan peran untuk mengawal proses hukum dari seorang klien, sehingga proses hukum yang dijalani itu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yakni, KUHP, KUHAP serta KUHper. Kemudian bila merujuk pada tugas pokoknya, advokat yang ada sejak jaman Belanda berdasarkan Reglement of de Rechtterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (S. 1847 No. 23 yo S. 1848 No. 57) itu dijuluki dengan officium nobile (jabatan yang mulia), dengan asumsi keadilan akan diperoleh salah satunya oleh kemampuan advocate dalam membela perkaranya.
Tetapi meski unsur penegakkan supremasi hukum kita sudah lengkap berupa, UU, intitusi hukum, serta aparat penegak hukum tetapi harapan terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan asas persamaan (equality before the law), terkadang masih jauh dari harapan. Semua tergantung pada moralitas dan integritas aparat penegak hukum itu sendiri. Padahal moral adalah roh dari penegakkan hukum itu sendiri (quid leges sine moribus). Oleh karena itu ,seorang penasihat hukum bukan hanya perlu sekedar hadir tetapi juga harus memiliki kompetensi untuk membela hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana dengan benar agar terciptanya sebuah keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar