Bregasnews.com, Brebes – Pada zaman orde baru dahulu, seluruh masyarakat Indonesia diimbau memasang Bendera Merah Putih setengah tiang setiap pada tanggal 30 September guna mengenang tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau yang dikenal dengan G 30 S/PKI.
Kendati sebenarnya, peristiwa berdarah yang menjadi tragedi atau sejarah kelam bangsa Indonesia pada tahun 1965, masih menjadi misteri yang belum terungkap sepenuhnya hingga kini. Penyiksaan dan pembunuhan secara sadis 7 jenderal TNI-AD, kemudian dikubur dalam satu lubang atau sumur yang biasa diambil airnya oleh masyarakat di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Sumur yang berdiameter 75 centimeter ini akhirnya disebut Lubang Buaya. Sumur yang terletak di lingkungan pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia (PKI) dahulu.
Waktu itu upaya ini dalam rangka menjaga generasi bangsa dari paham komunis dan agar lebih memahami Pancasila. Selain memasang bendera setengah tiang, sehari setelahnya yaitu tanggal 1 Oktober, juga dihimbau untuk memasang bendera negara satu tiang penuh untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Sementara, mengenai tradisi menonton film sejarah pemberontakan PKI, penulis, Serma Aan Setyawan, menilai masih relevan untuk ditonton generasi muda saat ini agar mereka mengetahui sejarah untuk diambil hikmahnya.
“Rasa cinta tanah air dengan kibarkan Sang Merah Putih sebagai wujud tidak melupakan sejarah bangsa,” ucapnya Senin (30/9/2019).
Terlepas dari itu, belum diketahui secara pasti pertama kali pengibaran bendera setengah tiang dilakukan. Filosofi bendera setengah tiang bagi banyak bangsa di dunia, dianggap sebagai simbol duka, kehilangan, rasa hormat atau mengenang tragedi hebat.
Di Indonesia, hal ini dilakukan saat ada tokoh yang dianggap sangat penting, berjasa atau berpengaruh meninggal dunia, termasuk mantan presiden. Sedangkan di daerah, biasanya ditentukan oleh Pemda dalam momen-momen khusus terkait kesedihan.
Aturan pengibaran bendera setengah tiang di Indonesia diatur dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, tentang bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Cara mengibarkannya ada aturannya, awalnya bendera harus dikerek sampai puncak tiang untuk beberapa saat, kemudian diturunkan setengah tiang, dan begitu juga sebaliknya saat penurunannya.
Saat ini, untuk mengenang 7 Jenderal atau Pahlawan Revolusi, di Lubang Buaya telah didirikan Monumen Pancasila, cungkup yang cukup megah untuk melindungi sumur, sebuah museum diorama, sebuah ruangan berisi relik serta lapangan untuk peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Sekedar diketahui, di samping Lubang Buaya, terdapat sebuah batu prasasti berwarna putih terdapat empat buah bintang berkelir dan bertulis kan ejaan lama “Tjita-tjita perdjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pantja-sila tidak mungkin dipatahkan hanja dengan mengubur kami dalam sumur ini. Lobang Buaja 1 October 1965”.
Diorama dimaksud adalah bangunan terdekat dengan sumur maut yang dulunya milik seorang simpatisan PKI bernama Bambang Harjono, rumah berukuran 8 x 15,5 meter yang dijadikan tempat interogasi dan penyiksaan 4 Jenderal AD yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo serta Perwira Polisi berpangkat Lettu, Pierre Tendean. Diorama ini terletak tepat di sisi kiri sumur maut. (Aan/Trs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar