Bregasnews.com - “ Saat ini jagat raya diramaikan oleh diskusi tentang teknologi Metaverse, meskipun pasti lebih banyak lagi masyarakat yang belum mengetahuinya. Teknologi Metaverse bukan sekedar diskursus warung kopi, tetapi secara kasat mata mulai kelihatan format, tantangan dan peluangnya. Mereka yang bisa beradaptasi dengan cepat, menciptakan, mengembangkan, bekerjasama atau membangun jejaring sebagai bagian dari masyarakat metaverse memberi ruang dan peluang yang besar untuk bisa menjadi bagian dalam menikmati transformasi teknologi metaverse ini. Namun demikian, setiap adanya hal yang baru tentu juga akan terjadi sisi lain yang harus diantisipasi, karena berimplikasi pada kesehatan mental dan kohesi sosial, serta kemungkinan munculnya aneka kejahatan berbasis teknologi tersebut. Disinilah perlunya menyiapkan instrumen hukum yang mampu mengantisipasi kemungkinan munculnya aneka kejahatan baru “, ungkap Pemerhati Hukum Dede Farhan Aulawi di Bandung, Selasa (1/3).
Lebih lanjut Dede menjelaskan bahwa penggunaan kosa kata metaverse bermula dari Matthew Ball, seorang venture capitalist dan penulis esai yang produktif, menggambarkan metaverse bukan sebagai dunia virtual atau a space, tetapi sebagai kerangka kerja untuk kehidupan yang saling terhubung. Metaverse merupakan jaringan luas dari dunia virtual tiga dimensi yang bekerja secara real time dan persisten serta mendukung kesinambungan identitas, obyek, sejarah, pembayaran, dan hak, yang mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tidak terbatas. Jadi Metaverse adalah seperangkat ruang virtual yang diciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada dalam ruang fisik. Semua bersifat virtual, berada di alam maya yang bisa kita akses dengan perangkat VR dan ini bersifat real time dan permanen sama dengan kehidupan kita saat ini. Semua yang kita lakukan di dunia nyata dapat kita lakukan disana termasuk berbisnis dan mencari uang. Bahkan diciptakan juga jual beli asset dengan sertifikat kepemilikan yang sah. Terjadi juga aktifitas ekonomi yang membuat hukum ekonomi terjadi, saat permintaan naik dan barang sedikit maka harga akan meningkat.
Merujuk pada tulisan Arlyana Abubakar, Direktur Bank Indonesia Institute menyatakan bahwa istilah metaverse sebenarnya sudah muncul sejak 1992 dalam novel Snow Crash karya Neal Stephenson, yang kurang lebih merujuk pada semesta (universe) digital yang realistis, yang berada di luar semesta fisik dunia nyata. Kemudian istilah ini semakin populer sejak oktober 2021 dimana Mark Zuckerberg, pendiri Facebook mengumumkan untuk mengganti nama induk perusahaan yang dipimpinnya menjadi Meta, sebagai tanda bahwa Facebook akan mulai masuk era metaverse. Hal ini ditandai dengan menginvestasikan dana sebesar US$10 miliar untuk mengembangkan teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) yang akan menjadi penopang utama metaverse-nya.
Langkah tersebut disusul oleh Microsoft dengan mengakuisisi Activision Blizzard, sebuah perusahaan video game, senilai US$70 miliar. Akuisisi ini tidak sekadar untuk memperkokoh bisnis gaming yang sudah dimiliki, tetapi karena Microsoft juga ingin membangun metaverse-nya sendiri. Dua raksasa teknologi lain, Google dan Apple juga tidak tinggal diam. Google terus mengembangkan kacamata cerdas-nya, sedangkan Apple juga mengembangkan teknologi AR dan VR-nya.
Melihat besarnya tekad perusahaan-perusahaan besar itu, bisa dipastikan metaverse akan segera menjadi kenyataan, dan akan berkembang, dari versi yang sederhana menjadi versi yang lebih canggih. Ide dari perusahaan-perusahaan itu adalah membangun semesta virtual yang disebut meta-semesta. Di satu sisi dia adalah semesta (universe) yang bisa dibandingkan dengan semesta fisik kita, tetapi sekaligus juga virtual dan meta. Itulah sebabnya dia bisa menjadi representasi artistik, puitik, atau bahkan surealistik dari semesta fisik.
Dari sisi lain, saat ini mulai muncul kecemasan dari para pemerhati kesehatan mental dan social yang menilai bahwa teknologi tersebut dapat berdampak pada kondisi mental seseorang dimana ia bisa merasa terlepas dari hidup riil-nya. Orang yang karena satu dan lain hal merasa insecure di dunia nyata bisa lari ke metaverse, menjadi sosok yang berbeda sekali, yang sangat ideal, dengan teman-teman dan komunitas yang sangat ideal juga. Orang yang tak punya teman di dunia nyata bisa menjadi selebritas dengan ratusan ribu atau jutaan penggemar. Pada gilirannya orang ini akan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dunia metaverse-nyalah yang nyata. Belum lagi bullying, rasisme, hiburan tidak sehat dan aneka kejahatan yang sekarang sudah ada di dunia siber diperkirakan juga akan teramplifikasi.
Jika dilihat dari perspektif bisnis, model aliran pendapatan (revenue model) bagi pemilik metaverse bisa bermacam-macam seperti biaya keanggotaan, biaya per layanan khusus, jual beli properti virtual, dan sebagainya. Tetapi yang lebih ditunggu oleh publik adalah model bisnis antar pengguna (peer to peer) dalam komunitas metaverse. Pemilik platform metaverse pasti akan mendukung peer to peer business seperti ini – sejauh tidak mengganggu bisnis sang pemilik – agar pemilik bisnis dunia nyata mau hijrah ke metaverse. Facebook, Youtube, Twitter, Instagram dan sebagainya memiliki model bisnisnya sendiri, tetapi juga membiarkan pengguna untuk berbisnis di dalamnya, dan itu yang ikut membesarkan platformnya.
Di saat yang bersamaan, mata uang kripto akan semakin populer, diiringi dengan popularitas non-fungible token (NFT), yang memberikan jaminan sistem dan teknologi terhadap nilai dan ekslusivitas aset digital. Bisa diduga bahwa perkawinan antara metaverse dengan teknologi blockchain akan membentuk sebuah semesta ekonomi (economic universe) baru yang bisa berjalan secara mandiri (off-grid), terlepas dari sistem ekonomi di dunia nyata. Transaksi di metaverse dengan menggunakan sistem keuangan dan sistem pembayaran dunia nyata (on-grid) tetap bisa dijalankan, tetapi transaksi dengan uang kripto akan semakin terbuka, sehingga transaksi lintas batas bisa berjalan sepenuhnya off-grid.
Itulah sebabnya, Metaverse akan menyediakan banyak objek yang bisa ditransaksikan dengan uang kripto, sekaligus juga memperbesar ruang perjumpaan antar para pengguna uang kripto. Apalagi jika kelak pemilik platform metaverse memiliki uang kripto mereka sendiri. Kita belum bisa memperkirakan berapa perputaran uang kripto yang mungkin terjadi di metaverse.
Dengan demikian, teknologi metaverse ini dinilai bisa berdampak positi ataupun negatif terganting pada user-nya itu sendiri. Dampak positifnya akan tersedia banyak peluang bisnis yang terkait dengan pemanfaatan teknologi dan pasarnya. Sementara terkait dengan dampak negatifnya diantaranya soal kesehatan mental seseorang. Personal wellness dan kohesi sosial bisa terganggu. Belum lagi risiko atas kejahatan siber semacam peretasan, akun palsu, penipuan, investasi bodong dan yang lainnya. Coba saja lihat data FBI yang mengatakan bahwa kerugian akibat kejahatan siber secara global mencapai US$6 triliun per tahun. Karena itu para calon pengguna harus benar-benar dipersiapkan dan mempersiapkan diri karena tampaknya tidak akan ada yang bisa membendung kehadiran metaverse.
“ Kemudian bagi Pemerintah sebagai regulator tentu akan menghadapi tantangan dalam menyiapkan perangkat aturan dan produk hukum lain yang bisa mengantisipasi perkembangan teknologi metaverse yang tampaknya akan melaju dengan pesat. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini berbagai kejahatan yang terjadi di dunia maya diselesaikan melalui sistem hukum dunia nyata. Tetapi dalam kenyataannya pelaku dunia siber, dan kelak metaverse, berusaha terus menjauhkan diri, bahkan melepaskan diri (off-grid) dari dunia nyata. Inilah tantangan bagi Pemerintah agar mampu menjangkau sistem sosial, sistem keuangan, dan sistem ekonomi yang semakin off-grid. Hal ini pada akhirnya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apapun risiko yang terjadi di metaverse, termasuk risiko yang mungkin saja sistemik, pelaku dan korbannya adalah manusia yang hidup di dunia nyata “, pungkas Dede.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar